SeLaMaT BeRjUmPa KeMbAlI dI pErSaHaBaTaN YaNg HaRmOnIs

Selasa, 27 April 2010

CERPEN KITA

 jangan takut gelap

Aku bercerita kepada cucuku yang berumur 10 tahun tentang manis dan pahitnya hidup ini. Dia bernama Atma, dia sangat menurut dengan nasehat yang aku berikan. Ibunya meningggal saat melahirkannya, dan ayahnya telah pergi entah kemana. Suamiku meninggal 30 tahun yang lalu karena terkena jantung. Atma tinggal seorang diri, aku menyuruhnya untuk tinggal bersamaku tetapi dia tidak mau katanya dia ingin mandiri. Aku bangga kepadanya karena dia akan menjadi orang yang sukses kelak. Memang hidup ini sangatlah indah, tapi tidak seindah saat kita mengalami sebuah masalah. Atma tidak dapat melanjutkan sekolahnya, karena aku tidak mampu membiayai sekolahnya. Aku merasa bersalah kepada anakku yang telah meninggal, karena aku tidak dapat merawat anaknya. Aku menangis dan tidak tahu harus bagaimana.   Dua minggu aku menunggu Atma, tetapi dia tidak datang mengunjungiku, aku mulai kawatir biasanya dia selalu datang setiap minggu. Aku takut terjadi sesuatu dengan dia. Sore ini aku bersiap untuk pergi dan mengunjunginya mungkin terjadi sesuatu kepadanya. Dan sampailah aku di rumahnya, aku mengetuk pintunya dan memanggilnya, “Atma, ini nenek buka pintunya” tidak ada yang menjawab, aku membuka pintunya ternyata tidak di kunci. Aku menuju ke kamarnya, dan aku menjerit “Atma, apa yang terjadi?” dia terbaring di tempat tidurnya seorang diri, dia tidak sadarkan diri. Aku keluar rumah dan meminta pertolongan, tapi tidak ada orang yang peduli dengan suaraku. Aku menangis hingga membangunkan Atma, “ne nenek..” aku berlari dan mendapatkannya, “aku tidak makan selama dua minggu ini, karena aku sudah tidak punya uang lagi” “mengapa kamu tidak pergi ke rumah nenek? Nenek selalu punya makanan untuk kamu” “tidak nek, walaupun aku tidak sekolah lagi aku bekerja sebagai penjual Koran, tapi beberapa minggu yang lalu uangku di rampas oleh anak jalanan, dan mereka memukuli aku. Tidak ada orang yang membantuku, aku ingin pergi ke rumah nenek tapi aku sudah tidak kuat jalan lagi, jadi aku putuskan untuk pulang ke rumah” “oh cucuku, kamu akan menjadi orang yang sukse suatu hari nanti” “terima kasih nek, aku akan menjalankan semua nasehat yang nenek berikan untukku. Nek aku lapar” “baik aku akan membelikan makanan, kamu tunggu di sini ya!” “iya nek, aku sudah tidak tahan lagi”   Aku pergi membeli sebungkus nasi kucing, dan segera pulang untuk menemui cucuku. Dia memandangiku dengan senyumnya yang sangat manis, walaupun dia masih 10 tahun dia bertingkah laku seperti seorang yang sudah berumur. Lalu kuberikan nasi yang telah kubeli kepadanya dan bertanya, “maukah kamu bercerita bagaimana kejadiannya?” dengan memakan nasi yang kubelikan dia mulai bercerita, “siang itu seperti biasa aku menjual Koran, seharian aku tidak makan karena aku ingin menjual Koran sebanyak banyaknya. Dan aku ingin setelah sore aku ingin mengunjungi nenek dan ingin makan bersama nenek. Saat aku sudah selesai dan ingin pergi ke tempat nenek, aku bertemu dengan segerombolan anak jalanan yang mabuk, dan mereka meminta semua uang yang ada padaku, pertamanya aku menolaknya karena aku ingin menabung semua uang yang aku dapatkan, dan mereka bilang, persetan dengan tabungan hidup hanya satu kali, jadi jangan sia siakan, sini berikan saja uangnya. Kalau kamu ingin menabung besuk kamu juga akan berjualan lagi jadi kamu akan punya uang lagi. Aku masih mempertahankan uang yang ada di saku celanaku, tapi mereka mulai memukuli aku jadi aku harus melepaskan genggaman tanganku. Setelah mereka mendapatkan uangnya mereka meninggalkan aku begitu saja, aku meminta tolong kepada semua orang tapi tidak ada satupun yang memberikan tangannya untukku. Aku masih ingin ketempat nenek, tapi aku sudah tidak tahan lagi, aku pulang ke rumah dan membiarkan pintu rumahku terbuka karena mungkin saja nenek akan datang” aku memeluknya dan memberikan nasehat lagi kepadanya, “cucuku kamu adalah anak yang baik, ibumu akan sangat bangga mempunyai anak seperti kamu, setelah mendengar cerita darimu aku merasa kamu sudah siap menjalani hidup ini, walaupun kamu masih 10 tahun tapi cara berfikir kamu seperti sudah 30 tahun, aku tidak akan kawatir jika suatu hari nanti aku harus pergi dari dunia ini. Banyak hal yang harus kamu ketahui di dalam hidup ini, sebenarnya ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan hal ini tapi karena kamu mempunyai sifat yang sangat bijaksana maka nenek berani mengatakan hal ini kepadamu. Hidup ini kadang di atas kadang di bawah kadang bahagia kadang sedih. Kamu tidak perlu takut dengan apapun, kamu harus menggunakan akal sehatmu untuk melalui hidup yang hanya sekali ini. Kamu mengerti dengan kata-kataku ?” “ya nek, aku mengerti. Aku akan menjalani hidup ini dengan baik.” “sekarang kamu istirahat dulu nenek akan pulang sebentar, dan nanti nenek kembali lagi.”Sampailah aku di rumah, kulihat rumahku dari kejauhan, rumah yang selalu sepi dan akan menjadi sepi bila aku mati nanti. Dalam hatiku mengatakan, bahwa rumah ini akan menjadi kepunyaan cucuku, terserah dia ingin menempatinya atau dia ingin menjualnya. Mungkin hidupku tidak akan lama lagi, maka aku akan menuliskan surat wasiat untukknya. Setelah aku mengganti pakaianku aku segera pergi menuju rumah cucuku lagi. Dan ku lihat dia sedang membersihkan tempat tidurnya, dia tidak mengetahui aku datang. “ah nenek..aku tidak tahu nenek berada di sini.” “apa kabarmu?” “saya sudah merasa lebih baik nek terima kasih.” “sini duduk di meja dengan nenek! Nenek ingin menyampaikan sesuatu kepadamu. Simpanlah surat ini, jangan sampai hilang, kamu harus membukanya bila nenek meninggal, kamu harus janji kepada nenek.” “Baik nek, tapi ini apa?” “kamu akan tahu nanti bila waktunya telah tiba.”   Dua bulan kemudian aku merasa tidak kuat lagi, aku merasa tidak bisa bernapas dan lemas, aku tidak tahu apa yang terjadi kepadaku, mungkin ini hanya penyakit tua. Dan cucuku seperti biasa setiap hari minggu dia mengunjungi aku. Aku merasa senang saat melihat dirinya datang. Dengan senyumannya, dengan tangan kecilnya dan dengan sendau guraunya dia selalu membuat aku tersenyum. Terima kasih Tuhan karena Engkau memberikan cucu yang sangat bijasana, bila Engkau menginginkan aku kembali ke sisi Mu aku siap.



 PENANTIAN

Setiap minggu, ia duduk di meja yang sama, jam yang sama dan memesan minuman yang sama, Iced Lemon Tea. Matanya selalu menerawang jauh keluar jendela, seperti sedang menunggu seseorang. Ia baru pulang ketika café akan tutup, itupun tanpa menyentuh minumannya sedikit pun walaupun ia tetap membayarnya. Aku merasa, ada rasa sedih dan iba setiap kali melihatnya memandang kosong ke jalanan seperti itu. Akankah ia tersenyum suatu saat nanti…?
***          
Dengan tergesa-gesa, aku berlari menuju café tempatku bekerja sambil menudungi kepalaku dari rintik gerimis dengan tas. Namun, langkahku sedikit tertahan ketika melihat ada seseorang yang duduk di bangku taman yang sengaja ditempatkan di luar café. Mengapa orang itu tidak masuk ke dalam?         
“Sedang menunggu orang?” sapaku ramah ketika mendekatinya. Dia sedikit terkejut dari lamunannya dan tersenyum ringan.         
“Ya,” jawabnya singkat sambil tetap tersenyum. Tapi, kenapa senyumnya itu terasa sangat sedih?         
“Kenapa tidak menunggu di dalam?” tanyaku seramah mungkin.         
Dia terdiam sesaat, “Tempat saya yang biasanya sedang diduduki orang lain”         
“Bagaimana dengan meja yang lain? Kalau anda berminat, akan saya siapkan.”         
“Tidak, terima kasih. Saya akan menunggu di sini saja,” tolaknya halus.         
Aku pun terdiam, tidak tahu harus berkata apa-apa lagi ketika melihat senyum lemah yang terukir kembali di wajahnya. Benar-benar membuatku penasaran sekaligus iba. Seorang cowok yang termasuk tampan namun bermata hampa tanpa semangat.         
“Kalau begitu, saya masuk dulu. Kalau meja yang biasanya anda tempati kosong, akan saya beritahu.”         
“Baiklah, terima kasih banyak.”         
Aku pun kemudian bergegas masuk ke café dan berganti seragam. Banyak pertanyaan berkelebat di kepalaku. Aku harus berusaha keras untuk menyingkirkannya supaya bisa fokus pada pekerjaanku.         
“Hei, Margie. Tadi kamu ngobrol apa aja sama ‘tuh cowok?” selidik Delvien tiba-tiba ketika aku sedang menyiapkan pesanan pelanggan.         
“Cuma tanya kenapa dia nggak masuk ke dalam. Katanya sih, karena meja tempat dia biasanya duduk lagi ditempatin,” jawabku singkat sambil meletakkan sepiring roti bakar keju dan secangkir the hangat di nampanku.         
“Cuma itu?”         
“Iya, memangnya kenapa?”         
“Nggak, hanya penasaran aja. Soalnya ‘tuh cowok tiap minggu datang ke sini seperti lagi nunggu seseorang yang nggak pernah datang. Padahal cakep gitu,” jawab Delvien dengan tampang serius.            Aku hanya terdiam mendengarnya. Memang benar dia terkenal karena kebiasaanya yang ‘agak unik’ itu. Aku sendiri pun penasaran setiap kali melihat dirinya memandang kosong keluar jendela seperti itu. Kira-kira siapa yang ditunggunya, ya? Apa mungkin pacarnya?         
Aku terkesiap ketika sadar memikirkan hal yang tak pantas di saat kerja. “Sudah, ah. Gosip mulu. Nanti bisa dimarahin Mbak Novi klo ketahuan ngobrol pas kerja, nih” sergahku panik sambil membawa pesanan ke meja pelanggan. Delvien hanya bisa merengut dan kembali mengerjakan tugasnya sebagai kasir.         
Ketika kulihat meja nomor dua dari belakang yang tepat berada di samping jendela telah kosong, aku pun teringat dengan janjiku pada cowok itu. Segera kubersihkan meja tersebut dengan perasaan yang agak sedikit campur aduk.          
Meja pun sudah siap, kulirik keadaan di luar ruangan lewat jendela. Di luar sudah mulai cerah walaupun malam telah tiba. Aku pun bermaksud memberitahukan pada pelanggan ‘istimewa’ kami bahwa meja yang diinginkannya sudah siap. Ketika kulihat bangku taman yang ada di depan café telah kosong, entah kenapa rasanya hatiku mencelos. Ada rasa sesal, kenapa aku tidak lebih cepat menyiapkan meja itu?          
Jam kerjaku pun akhirnya berakhir. Dengan langkah tak bersemangat, aku pun berjalan pulang. Kusempatkan diriku untuk mampir di taman kecil dekat café untuk melegakan pikiranku. Belum berapa jauh aku masuk ke taman, aku melihatnya sedang duduk di ayunan. Dengan sedikit ragu-ragu, aku mendekatinya.         
“Maaf, tadi saya terlambat memberitahu meja langganan anda sudah siap.”         
Diapun tersadar dari lamunannya. “Tidak apa-apa. Saya rasa ada baiknya sesekali saya duduk di luar seperti ini,” jawabnya ramah sambil berayun-ayun sedikit.         
Kami pun terdiam, masing-masing dengan pikirannya sendiri. Aku pun duduk di ayunan sebelahnya yang kosong.         
“Baru mau pulang?” tanyanya memecah kesunyian.         
“Ya, rumah saya dekat dari sini. Jadi, kadang-kadang saya mampir ke sini kalau suntuk,” jawabku sambil tertawa kecil.         
“Oh, begitu. Saya dulu juga sering ke sini ketika hari cerah. Tapi sudah cukup lama juga saya tidak main ke sini lagi, baru hari ini.”         
“Memang kenapa?”tanyaku spontan, “Aduh, maaf tiba-tiba bertanya seenaknya” wajahku memerah. Bisa-bisanya aku langsung bertanya seperti itu pada orang asing! Kalau Mama tahu, aku pasti bisa diceramahi panjang lebar tentang tata karma. Aku pun tertunduk salah tingkah. Dia hanya tersenyum maklum.         
“Dulu, saya sering ke sini bersama teman masa kecil saya sejak kelas 1 SMP. Kami biasa duduk-duduk di ayunan seperti ini, mengobrol, bercanda…” matanya kembali menerawang jauh. Aku hanya diam memperhatikan.         
“Suatu hari, saya mengajaknya bertemu di café tempatmu bekerja. Saya berencana untuk merayakan ulang tahunnya sambil memintanya menjadi pacar saya.”         
“Tapi, di hari yang saya nanti-nantikan tersebut, dia tak kunjung datang. Saya menunggu dan terus menunggu. Saya sudah mencoba menelpon HP-nya, tapi tak tersambung. Keesokannya, saya pergi ke rumahnya, namun rumah tersebut kosong…” ucapannya terhenti. Terlihat matanya yang begitu sedih namun berusaha tegar.         
“…saya terus menunggunya, berharap mungkin dia akan datang ke café memenuhi janji kami…walaupun kau tahu bagaimana akhirnya…” seulas senyuman pahit terukir di wajahnya. Hatiku pun menjadi trenyuh.         
“Dan…hari ini…saya…menerima surat undangan pernikahannya…yang akan diadakan dua minggu lagi…”         
Hatiku mencelos, terasa sakit. Aku bisa merasakan kepedihannya, rasa sakit dan sedihnya, begitu terasa…sampai-sampai rasanya aku pun ingin menangis. Menangis karena dirinya, tapi juga karena…aku?         
“Sekarang, saya sedang bingung…apakah saya harus menghadiri acara itu dan mengucapkan selamat…atau saya harus belajar untuk melupakannya…?” terdengar nada putus asa dari kalimatnya yang terakhir. Dia pun tertunduk pilu. Sosoknya yang putus asa di temaram lampu taman membuat hatiku sakit. Kesunyian ini membuat hatiku semakin sakit, aku ingin berkata sesuatu untuk menguatkannya, tapi mulutku serasa terkunci.         
Kutatap bintang yang mulai bermunculan di balik awan. Sepoi angin malam mempermainkan rambutku. Kurasa, sebenarnya sejak awal melihatnya aku mulai tertarik padanya. Rasa cinta yang diselimuti kesedihan yang terpancar dari matanya membuatku ingin mengenalnya dan membuatnya tersenyum. Bahkan, setelah mendengar ceritanya, sepertinya aku makin terjerat olehnya. Apakah aku …telah… jatuh cinta?         
“Saya rasa…anda harus jujur pada diri sendiri…apakah yang sebenarnya paling anda inginkan bagi dirinya dan bagi diri anda? Mungkin jawabannya bukanlah akhir yang membahagiakan…tapi…setidaknya dengan satu keputusan, hal itu akan menentukan sebuah awal dari sesuatu yang baru…” kataku perlahan namun pasti.         
Dia hanya terdiam tertunduk. Entah apa yang dipikirkannya tentangku. Seseorang yang baru mengajaknya bicara hari ini dan bahkan lebih muda beberapa tahun darinya, memberikan suatu nasehat. Tapi, aku hanya ingin dia tahu bahwa aku tulus memikirkannya.         
Waktu terus berjalan. Kami tetap asyik dengan keheningan malam dengan pikiran kami masing-masing. Hari esok yang seperti apakah yang akan kami lalui?
***          
Sebulan telah berlalu sejak malam itu. Dia tak pernah muncul lagi di café dan tentunya mengundang banyak tanya dari teman-temanku…kecuali aku. Aku hanya diam tak memberitahukan kejadian saat itu pada siapapun. Meskipun ada rasa sesal dan sedih di hati, aku hanya bisa berharap yang terbaik untuknya. Terkadang aku merasa kesal sendiri, kenapa aku bisa-bisanya mengungkapkan pendapatku seperti itu? Pada seseorang yang tak dikenal pula!         
Aku hanya bisa mendesah nafas berat setiap kali terkenang saat itu. Haahh…semoga dia baik-baik saja…         
Sore itu, aku kembali mengerjakan keseharian pekerjaan sebagai pelayan meja. Sempat aku heran dengan keriuhan yang tak biasa dari antara teman-temanku ketika aku selesai berganti seragam, namun aku tak begitu memperhatikannya.          
“Margie, antarkan pesanan meja nomor 22!” perintah Mbak Novi.         
“Ah, baik!” jawabku cepat lalu mengambil nampan berisi Iced Lemon Tea. Sejenak, aku termenung ketika melihat pesanan itu. Terkenang dirinya yang selalu memandang keluar jendela dengan tatapan hampa dan selalu memesan Iced Lemon Tea seperti yang kupegang ini.         
“Margie, jangan melamun, ah! Ditunggu, tuh pesanannya,” tegur Mbak Novi         
“Ah, iya! Maaf!” aku tersentak malu.         
Dengan tergesa-gesa namun tetap berhari-hati, kuantarkan pesanan ke meja yang sengaja disiapkan di luar café untuk pelanggan yang menyukai menyantap pesanannya di di udara luar.         
Di tempat tersebut, kulihat seseorang yang duduk memunggungiku, menatap pemandang hijau di kejauhan. Aku sedikit terkejut ketika melihat punggung yang lumayan begitu kukenal itu. Kok bisa?!         
“Permisi, ini Iced Lemon Tea pesanannya.”         
Si pemesan pun berbalik. Orang itu! Tapi kali ini matanya tidak lagi hampa, aku bisa melihat semangat hidup dari kedua matanya. Seulas senyum cerah nan tulus pun kini nampak di wajahnya, bukan lagi senyum sedih yang dipaksakan.         
“Ah…lama tak bertemu,” kataku sedikit tergagap. Aku pun tersentak teringat kejadian malam itu, “Ah, maaf untuk yang waktu itu. Saya hanya bermaksud…”         
“Tidak apa-apa. Saya mengerti, kok,” potongnya sambil tertawa kecil.         
Rasanya hari ini sangat cerah begitu melihat tawa kecilnya yang terlihat begitu lepas!         
“Ngomong-ngomong, kamu nanti tugas sampai jam berapa?” tanyanya         
“Saya tugas sampai jam 9 malam. Memang kenapa?” Aku merutuk dalam hati atas kepolosanku yang konyol dengan pertanyaanku yang terakhir.         
“Nanti malam…saya harap kita bisa bertemu lagi di taman yang waktu itu. Bagaimana?” tanyanya sopan tak terpengaruh dengan kekonyolanku.         
“Baiklah. Nanti saya akan datang.” Hatiku begitu berdebar-debar dan penasaran.         
Sepanjang sisa waktu kerjaku hari itu, aku tak bisa tidak berhenti memikirkan kemungkinan apa yang akan terjadi nanti. Begitu penasarannya, hampir-hampir aku tidak bisa berkonsentrasi pada pekerjaanku dan sempat ditegur Mbak Novi karena salah mengantarkan pesanan sampai dua kali.         
Akhirnya waktu tutup café pun tiba. Dengan tergesa-gesa aku menuju taman tempat kami janji bertemu. Sesampainya di pintu masuk taman, dengan gugup, kurapikan rambutku yang sedikit acak-acakan karena berlari. Kupastikan bajuku dalam keadaan rapi. Walaupun hanya mengenakan T-shirt berwarna oranye terang yang kubeli di pasar murah bulan lalu dan celana blue jeans yang termasuk sering kupakai untuk bepergian sehari-hari, setidaknya aku tidak ingin terlihat kucel.         
Setelah menarik nafas 2-3 kali, aku menyiapkan hati memasuki taman menuju ayunan yang berada di tengah-tengah area. Malam ini seperti malam itu, suasana sedikit temaran diterangi lampu taman yang ada di sudut-sudut taman. Hanya saja, malam ini bulan purnama bersinar cerah, bahkan langit pun hanya diselingi sedikit awan. Semoga ini pertanda bagus!         
“Maaf lama,”sapaku begitu mendekatinya yang sedang duduk di ayunan seperti waktu itu.         
“Tidak apa-apa. Ayo, duduk dulu.” Kedatanganku disambut dengan senyumnya.Dengan gugup, aku duduk seperti yang dipintanya.         
“A…ada apa, ya kalau boleh saya tahu?” tanyaku setelah kurasa cukup lama kami terdiam.         
“Saya…ingin mengucapkan terima kasih…” jawabnya sambil tetap menatap bulan yang bulat penuh.         
“Ah? Terima kasih untuk apa?” tanyaku bingung.            Dia terdiam sesaat, tetap memandangi Sang Mutiara Malam. Aku pun terdiam memandanginya wajahnya yang tanpa beban, tersenyum ringan.         
“Saya…memikirkan nasehatmu sejak malam itu. Semula saya tidak tahu saya harus berbuat apa. Jauh di dalam hati saya, saya masih mencintainya. Berharap apa yang terjadi itu hanya ilusi. Selama berhari-hari sebelum hari pernikahan, saya mengunjungi tempat-tempat kenangan kami yang lain.”         
“Suatu hari saya tersadar akan satu hal. Saya memang mencintainya, dan walau apa pun yang terjadi, dia tetap adalah orang yang pernah menduduki tempat istimewa dalam hati saya. Lalu, saya berpikir, bagaimana halnya dengan dia? Apakah dia juga mencintai saya, setidaknya pernah mencintai saya?”         
Terdengar suara tarikan nafasnya untuk melanjutkan ceritanya. Aku pun diam memperhatikan walaupun hatiku sebenarnya terasa sakit.         
“Saya pun mendatangi rumahnya yang baru. Suatu langkah yang sempat tidak saya berani ambil karena takut. Saya bertemu dengannya dan berbicara dengannya seperti biasa. Akhirnya saya membulatkan tekad untuk menyatakan perasaan saya. Semula dia sedikit kaget, tapi akhirnya saya mengetahui bahwa dia mengganggap saya selama ini tak lebih dari seorang sahabat bahkan seperti saudaranya sendiri. Orang yang akan dinikahinya tunangannya sekaligus cinta masa kecilnya yang baru pulang studi di luar negeri.”         
“Hati saya sempat sakit dan sedih. Ternyata, gadis yang saya cintai telah mempunyai orang lain di hatinya dan perasaannya berbalas. Saya hanya bisa pasrah dan mendoakan yang terbaik baginya. Setelah cukup lama berpikir, saya pun bisa menghadiri pernikahannya…sebagai sahabat terbaiknya…”         
Pembicaraan kami sempat terhenti sejenak. Aku tetap diam menyimak dan mencerna ceritanya. Angin malam berhembus menggoyangkan dahan-dahan pohon flamboyan, seakan mencoba memecah kesunyian         
“ Butuh 2 minggu untuk menata kembali hati saya. Di saat malam, ketika senggang, saya merenung memandangi langit seperti sekarang ini. Walau terdengar klise atau semacamnya, saya harap saya akan bisa tetap mendoakan yang terbaik baginya, bagi dirinya yang pernah mengisi hidup saya. Dan…,” tatapan beralih kepadaku yang serius menyimak kata-katanya, “saya bersyukur bertemu denganmu. Saya merasa dikuatkan untuk jujur pada diri sendiri dengan menghadapi kenyataan sehingga saya bisa mengambil tindakan yang seharusnya saya ambil dari awal.”         
Wajahku terasa panas terbakar. “Ah…ti..tidak, itu bukan karena saya. Anda terlalu berlebihan” jawabku tertunduk malu berusaha merendah.         
Dia tertawa melihat sikapku yang salah tingkah. Aku hanya bisa tambah tertunduk malu. Jangan sampai dia tahu kalau aku sebenarnya jatuh cinta padanya, bahkan sekarang lebih lagi! Tidak saat ini!         
“Yang pasti, bila waktu itu kamu tidak menyapa saya, saya rasa saya tetap tidak tahu harus berbuat apa dan tetap terpuruk. Sekarang saat ini saya mantap ingin menjalani awal yang baru.”         
Aku tersenyum senang. Ada rasa lega melihat wajahnya yang kini bersinar dan matanya yang kini penuh harapan di bawah sinar bulan.         
“Karena itu, saya harap untuk support-nya untuk selanjutnya, ya. Siapa tahu, suatu hari nanti saya benar-benar jatuh cinta padamu” candanya sambil mengedip.         
“Eh…ehhh?!!!A..apa…maksudnya?!” tanyaku gelagapan, hampir jatuh dari ayunan. Wajahku terasa panas membara dan jantungku berdebar tidak karuan.         
“Hahahaha…dari reaksimu pun saya bisa tahu apa yang kamu pikirkan tentang saya. Saya rasa orang polos sepertimu manis juga, Margaretha.”         
“Ehhh…darimana anda tahu nama saya?” tanyaku makin gelagapan.         
“Tentu saja bertanya, dan ngomong-ngomong, namaku Anggarda,”senyumnya manis.         
Ahhhh…Sang Pangeran yang dulu selalu bersedih, kini tengah tersenyum manis padaku!!! Bahkan dia menggodaku?! Aduh…bagaimana hatiku nantinya…?!! Bulan di atas sana terlihat begitu berkilau indah, menyinari riak-riak hatiku…


CINTA SAMA SEPUPU

Awalnya gue mau nyamperin Zian karena udah mau jam tujuh tapi klakson Zian ngggak kedengeran. Tapi begitu gue keluar mobilnya Zian lewat tapi malah sama sekali nggak meduliin gue. Jadi gue langsung lari ngejar tu mobil. Untung si Zian ngerti jadi dia langsung berhenti dan gue langsung aja naek ke mobilnya.     “Lo kemana sih kok lama banget? Ya udah, buruan jalan.”     “Masih mau juga lo bareng ma gue ternyata. Nggak bareng ma Om lo apa?” Lho kok Zian jadi sinis gitu?     “Om? Om siapa nih?”     “Xion, siapa lagi. Dia kan om om. Umurnya jauh beda ama kita-kita.”     “Lebay banget lo Zi. Cuma beda 8 taun.”     “Tapi tetep aja dia Om-om. Dunia dia ama kita pasti beda jauh. Ambil contoh simpel aja deh. Cara pacaran misalnya. Kalo kita pacaran paling nonton, pegangan tangan. Nah kalau dia? Ya lo ngerti sendiri maksud gue.”      Kalau dipikir-pikir kata-kata Zian ada benernya juga. Cara bersikap, cara bicara, pembawaan, beda jauh ama cowok-cowok di sekolah gue. Mungkin Xion itu lebih cocok sama wanita dewasa kayak si Elin yang kemaren. Urgh, inget itu gue jadi tambah bete jadinya.      “Hhh..” Gue cuma bisa menghela nafas.      Zian ngeliatin gue sambil ngeliatin senyumnya yang nggak pernah keliatan kalau dia lagi sok jutek. Trus juga dia ngacak-ngacak rambut gue lagi.     “Yam, lo tuh udah jelek jangan ditambah jelek donk. Jelek tau cemberut gitu. Emangnya kenapa sih?”     “Urgh, lo tuh rese ya, jadi mesti sisiran lagi deh gue. Tau ah!”     “Yaelah Ayam, biasanya juga lo cerita ma gue.”     “Zian, gini ceritanya...” Akhirnya gue ceritain kejadian kemaren selengkep-lengkepnya ke Zian.     “Jadi lo cemburu ama si tante Elin itu?” Kata Zian begitu gue selesaiin ceritanya.     “Hah, cemburu?”     “Iya, emang apaan lagi tuh namanya kalau bukan cemburu.”     Aduh gue jadi tambah bingung gue cemburu? Tapi kan gue nggak cinta ama Xion, “Iya nggak tau deh.”     “Jadi lo cinta ama si om om itu?”     Satu lagi pertanyaan ngawur dari Zian. Nggak usah gue jawab deh, nggak penting.***     Udah malem tapi mata gue sama sekali nggak ngantuk. Ini semua gara-gara Xion. Kenapa sih gue kepikiran Xion mulu? Apalagi di udah mau cabut dari rumah ini dua hari lagi. Malem besok bakal jadi malem terakhir dia di rumah ini. Mikirin itu jadi sedih banget rasanya.     Sekarang dia lagi apa ya di kamarnya? Apa dia kepikiran hal yang sama kayak yang gue pikirin sekarang? Kamar dia ada di sebelah kamar gue tapi gue nggak bisa jawab pertanyaan-pertanyaan gue sendiri yang seharusnya gampang gue jawab kalau gue bisa liat ke kamarnya.     “AAAAAaaaaa!!!” Saking ffrustasinya gue sampai teriak. Nggak terlalu kenceng sih tapi juga nggak terlalu pelan.     Tiba-tiba ada sms masuk. Nomor asing...     Chika belum tidur? –Xion-     Eh? Xion? Tau darimana nomor gue? Jadi Xion juga belum tidur. Hihi, lucu juga. Padahal kamar kita sebelahan tapi masih harus sms-an     Sorry,yg td kdengern y?belum,td mnum kopi sh,hhe.dpt no ak drmn?     Nggak lama kemudian balesannya dateng...     Dr Zian.bobo gih,ntar bsk telat lho.bsk free g?jln yuk.ak pngen nraktir kamu nih.     Yah, berarti emang besok hari terakhirnya di rumah ini. Hari ketiga dia pasti udah sibuk pindahan jadi udah nggak sempet lagi buat jalan sebelum dia pindah ke kosan yang cukup jauh dari rumah gue.     Ok dhe xp yaud, ak mw bo2 dlu...oyasumi nasai     Gue pikir Xion nggak bakal bales lagi ternyata...     Met bobo, have a nice dream... ***     Xion ngajak gue ke BIP. Hebat juga dia, baru sebentar di Bandung udah tau tempat-tempat nongkrong tanpa mesti nanya-nanya dulu ke gue.     Selama kita jalan Xion bener-bener memperlakukan gue kayak putri. Bener-bener gentlemen abis. Gue bahkan udah nyuruh Zian buat niruin kelakuan Xion kalau dia emang pengen dapet cewek.      “Ehm, es krim kamu belepotan lagi di pipi.”      “Hah, masa sih?” Gue langsung ngeliat ke kaca. Ternyata kata-kata Xion bener. Kali ini gue nggak ngelap pake tangan tapi bermaksud ngelap pake tisu. Sebelum gue ngambil tisu diatas meja Xion lebih dulu ngambilin. Kalau kemaren dia cuma ngasih tisunya ke gue, sekarang dia langsung ngelapin ke pipi gue.      Deg-deg-deg gue ngitung detak jantung gue pelan-pelan. Satu...dua...tiga...kok nggak berenti berenti sih? Tatapan Xion, serius dan dalem banget. Dan tanpa gue sadar gue langsung megang tangan Xion yang lagi ngelapin muka gue.      Tiga puluh...tiga satu... udah berapa lama kita berdua diem di posisi kayak gini? Sampai akhirnya Hp gue bunyi.      “Zian yang sms. Aduh, ngapain sih ni anak nge forward sms nggak penting, hha.”      Abis makan langsung ke bioskop yang masih ada di dalem gedung BIP. Nonton film tapi gue sama sekali nggak bisa konsentrasi ke filmnya. Gue malah mandangin muka Xion sepanjang film itu diputer.      Tangan Xion ada tepat di sebelah tangan gue. Entah gue kerasukan setan apa yang jelas gue langsung menggenggam tangan dia tanpa ngelepasin pandangan gue ke dia.     Xion nyadar dan langsung rada kaget. Tapi begitu tatapan kita bertemu dia langsung bisa ngontrol mukanya dan kini keadaan berbalik. Dia yang ngegenggam tangan gue.     Pandangan gue beralih ke tangan gue yang terasa hangat dalam genggaman tangan Xion. Begitu gue balik lagi ke mukanya Xion dia senyum.      Sepanjang film gue sama sekali nggak ngerti ceritanya. Tapi gue seneeeeeeeng banget. Kok bisa sih? Xion? kalau orangnya bukan Xion sih wajar. Tapi ini beneran Xion. Sepupu gue yang umurnya 8 taun lebih tua dari gue. Mungkin bener kata Zian, gue udah naksir om om. Ya, gue udah suka banget sama om yang satu ini.     Akhirnya pas filmnya selesai gue ama Xion mutusin buat pulang karena emang udah malem. Dari bioskop ke parkir area Xion sama sekali nggak ngelepasin tangannya. Itu yang ngebuat gue bingung. Kalau para Kunyuk yang bersikap kayak gitu ke gue gue sh biasa aja. Lagian emang mereka sering ngerangkul gue seenaknya. Kalau Xion? Apa ini berarti lain buat dia. Tapi kan gue udah dianggep adek sama dia. Aduh, tambah bingung gue.      “Film-nya gimana barusan? Seru ya!”      “Hehe, jujur ya, aku sama sekali nggak ngerti filmnya. Abisnya...”      “Abisnya?”      “Aku merhatiin kamu terus.”      Raut wajah Xion berubah, “Ma...maksud kamu.”      “Jangan pura-pura nggak tau. Aku tau persis kalau kamu ngerti maksud aku.” Nada bicara gue aneh dan sama sekali nggak kayak gue. Arghhh!!!!! Gue tau persis kalau gue lagi kerasukan setan.     Sepanjang perjalanan suasana jadi aneh. Kacau! Ini semua gara-gara gue, pake ngomong yang nggak perlu lagi.      Nggak terasa akhirnya perjalanan jauh dari merdeka menuju pasteur-pun berlalu. Udah nyampe depan rumah malahan. Xion turun buat buka pager rumah, tapi...     “Tunggu!” gue narik tangan Xion sebelum dia sempet turun. Dia ngerti dan langsung nutup lagi pintu mobilnya.     “Maaf kalau kata-kata aku yang barusan aneh, nggak masuk akal, gila, atau apa deh. Tapi ini malem terakhir kamu di rumah ini besok kamu bakal sibuk ngurus pindahan. Setelah ini mungkin kita jarang ketemu jadi kalau nggak aku bilang sekarang entah kapan aku bisa bilang.”      Xion sama sekali nggak komentar apa-apa jadi gue bisa dengan tenang nerusin kata-kata gue, “Aku suka kamu kamu bisa nganggep aku gila, mengingat posisi kita. Kita emang sepupu dan kamu jauh lebih dewasa dari aku. Tapi kata-kata aku sekarang nggak bohong.”      Xion masih nggak komentar, “Makasih udah ngedengerin. Begitu kita turun dari mobil ini anggep aja aku nggak ngomong apa-apa.”      Gue bener-bener nggak ngerti sama diri gue sekarang. Gue emang nggak tau diri sampai bilang hal kayak gitu ke Xion. Gue nggak punya muka lagi, jad gue langsung turun dari mobil dan lari sekenceng-kencengnya ke kamar. Gue nggak langsung masuk tapi diem dulu di depan pintu kamar gue yang ada tepat di sebelah pintu kamar Xion. Malem besok kamar di sebelah gue kosong lagi tanpa Xion. Inget itu air mata gue jadi tumpah.      “Hiks...hiks... gue bego sih!”      Tiba-tiba sepasang tangan meluk gue dari belakang. Tanpa gue harus noleh buat ngeliat orangnya gue bisa tau dari parfumnya, “Xion?”      Sekarang Xion nyiumin rambut gue, geli. Begitu gue ngebalik Xion langsung nyium pipi gue, “Met bobo Chika, have a nice dream.”     Eh???***     “Zi, kok lo diem aja sih? Kasih selamat, respon, atau gimana gitu.” Gue baru aja nyeritain semua kejadian kemaren ke Zian waktu jam istirahat sekolah. Ternyata kalau dipikr-pikr gue jarang ngobrol ama Zian kalau masih di sekolah. Makanya sekarang gue nyamperin dia.     “Emangnya perlu ya kata ‘selamat’ dari gue?”     “Nggak perlu sih tapi kalau lo nggak ngasih selamat berarti gue nggak bakalan nraktir lo!”     “Iya...iya...selamat! Puas!”     “Hhe, gitu donk. Ntar pulang sekolah jalan yuk. Gue yang traktir. Ok!”     Bukannya seneng Zian malah keliatannya bete banget. Malah dari tadi dia sama sekali nggak ngeliat kearah gue selama kita ngobrol, “Jadi akhirnya lo jadian sama om om itu? Umurnya kan beda jauh sama lo. Dulu lo sendiri yang bilang kalo lo ogah jadian sama om om.”      “Biarin aja kan gue juga bisa belajar supaya jadi lebih dewasa. Banyak kali pasangan yang umurnya beda jauh bahkan sampai 20 taun. Nggak tau apa?”      “Dewasa sebelum waktunya itu nggak baik tau!” Sekarang Zian ngacak-ngacak rambut gue sama kayak yang Xion lakuin kemaren. “Ayam...ayam...”***     Jadian? Enggak? Jadan? Enggak? Gue masih pusing sendiri. Berhari-hari gue mikirin soal itu. Gue ini jadian atau nggak sih? Waktu itu kan Xion nggak ngasih jawaban apapun. Nggak iya, tapi juga nggak bukan. Hh.. kalau ternyata gue cuma kegeeran duluan gimana? Tapi nggak mungkin juga ada orang nolak dengan nyium kayak gitu. Hhh...     Chika,km d rmh?kykx brg ak msh ad yg ktinggaln    Xion sms? Baru aja dipikirin. Emang ternyata pikiran gue ama dia terkoneksi dengan baik.    Ad,mw dtg kpn?    Balesan dari Xion singkat banget...    Skrg    Sejam kemudian mobil Xion udah nangkring depan rumah. Begitu gue buka, “Xion!”    Udah dua minggu gue nggak ketemu sama Xion semenjak kejadian itu. Sms juga nggak. Sebenernya gue pengen nge-sms dia duluan, tapi gue malu J    “Sendirian aja di rumah, Chika? Oh ya barang yang ketinggalan itu...”     “Ng..aku nggak tau. Mungkin masih ada di kamar Roxas.”     Xion, emangnya lo nggak bisa ngeliat muka gue? Gue tuh masih penasaran. Kenapa lo bertindak seakan-akan nggak terjadi apa-apa? Atau jangan-jangan ini karena perintah gue sebelum turun mobil waktu itu? Yang bilang supaya kita lupain semuanya? Tapi kalau emang karena kata-kata gue waktu itu ngapain juga lo nyium gue?      “Ng...Xion?”      “Iya?”      “Aku...aku...” Aku mau bilang kalau aku sayang kamu tapi kok kayak ke-rem gini sih?      “Aku sayang kamu.” Hah? Nggak salah denger kan gue? Xion ngomong kalau dia sayang gue?***     Well, sekarang setelah  gue pikir semuanya jelas, gue makin aneh, nggak tentu, dan belagak jadi detektif. Yupz, mencari tau siapa Xion. Maksud gue selama ini kan sosok dia asing banget buat gue, gue bahkan hampir nggak tau apa-apa tentang dia. Bahkan nama lengkap dia aja gue nggak tau. Nama dia di facebook gue juga nggak ada.     Sebenernya gue mau nanya-nanya langsung ke dia, cuma nggak banget gitu lho. Ntar dia pikir gue sama sekali nggak peduli sama dia karena nggak tau apa-apa tentang dia. Mau nanya Vincent atau Roxas? Kalo gue ngirim email takut mereka kelamaan balesnya. Telpon atau sms mereka juga mahal. Kalo sama para kunyuk? Gue takut mereka curiga kaena gue nggak mau hubungan gue sama dia ketauan ma orang lain. Tapi kalo nggak sama kunyuk-kunyuk itu sama siapa lagi gue mau nanya?      Kunyuk yang paling bsa gue percaya? Nggak ada! Tapi gue putusin buat nanya ke EJ. Walaupun dia emang slengean tapi untuk hal kayak gini dia yang paling bisa diajak kerjasama.     “Je?”     “Ayam! Ngapain lo nelpon gue? Kangen ya?”     “Eh bego, kalo gue nelpon lo berarti gue ada perlu.”     “Ada apaan?”     Akhirnya gue nanya ke EJ pertanyaan-pertanyaan tentang Xion. Gue cerita sedikit juga tentang hubungan gue sama dia. Tolong garisbawahi kata ‘sedikit’ karena gue emang bener-bener cerita sekilas aja supaya dia nggak terlalu dapet gambaran gimana persisnya kita sekarang.     “Eh, lo tau nggak kalau ternyata Om Ferdi bokapnya Xion itu anak angkat kakek kita?”     “Eh?”***     Gue baru sadar kalau ternyata gue nggak pernah ke kos-an ion menjak dia pindah. Jadi berhubung Zian mau ke planet dago, gue nebeng sama dia buat ke kos-an Xion.     “Dasar lo ngerepotin gue aja!” Zian emang nggak berubah. Tapi perasaan akhir-akhir ini Zian jadi makin galak, makin jutek, makin nyebelin.     “Alah lo, nebeng doank juga. Lagian kan lo juga sendirian. Lo tau nggak penyebab kemacetan itu lantaran kendaraan terlalu banyak. Masa’ satu mobil satu orang. Jadi daripada gue nambah kemacetan dengan bawa mobil sendiri, mendingan gue nebeng sama lo.”     “Terus pulangnya gimana? Lo mau naek angkot?”     “Ya nggak lah, Zi. Pulangnya juga gue nebeng sama lo. Ok! Kalau lo udah beres sms aja gue biar gue nyusul. Nggak ngerepotin kan?”     “Urgh, terserah lah.”     Awalnya gue mau turun di planet dago aja biar sisa perjalanan gue terusin sendiri. Maksudnya sih biar nggak ngerepotin dia. Tapi ternyata dia nanya letak kos-an Xion. Dia bilang dia mau nganterin, walaupun dia ngomong dengan cara yang jutek. Tuh kan apa gue bilang, walaupun mulutnya kasar tapi hatinya baek.     “Thanks, Zi. Gue nyamperin Xion dulu ya.”     Kalo sebelumnya gue pernah narik tangan Xion sebelum dia turun dari mobil sekarang tangan gue yang ditarik Zian sebelum gue sempet turun, “Nggak usah nyusul gue. Kalo gue udah selesai langsung gue jemput.”     “Ng...Iya Zi, makasih sebelumnya. Eh, udahan donk gue masu masuk nih.”     Zian diem sama sekali nggak ngerespon gue atau bahkan nggak ngeliat kearah gue selama gue. Malahan dia cuma nunduk aneh gitu, “Hati-hati ya, Chika.”     Abis mobil Zian ngilang baru aja gue nyadar. Tadi Zian manggil gue apa? Chika? Setelah sekian taun dia nggak manggil gue Chika tiba-tiba dia manggil gue Chika? Hah, kenapa gue seneng ya cuma gara-gara dia manggil gue Chika?     Kosannya sepi mobil Xion juga nggak keliatan di parkiran. Gue kan mau bikin kejutan karena tiba-tiba dateng, eh Xionnya malah nggak ada. Kamarnya kosong. Masa’ gue nunggu disini sampai dia pulang dan gue juga nggak tau kapan dia pulang. Mau nyusul Zian? Huh, gue takut ngeganggu urusan dia.     Saat gaje gini gue cuma duduk di depan pintu kamar Xion...     “Eh, serius deh, tadi aku kagum banget sama kamu. Kalo tadi nggak ada kamu aku nggak bisa ngapa-ngapin lho. Makassi ya.” Suara anggun dan lembut itu berbicara     “Biasa aja kali. :agian rasanya aku juga nggak ngapa-ngapain.”      Dua suara yang kayaknya pernah gue denger kedengeran dari arah tangga. Suara yang cowoknya itu jelas suara Xion. Suara ceweknya?     Akhirnya mereka berdua nyampe juga di depan pintu tanpa sedikitpun sadar kalau gue ada disana, “Sekali lagi makasih, Xion.”     Ternyata itu Elin dan Elin langsung nyium pipi Xion. Bener-bener jelas dan nyata di mata gue. Setelah itu Elin langsung masuk ke kamarnya. Xion juga masuk ke kamarnya tanpa sedikitpun nyadar kalau gue ada disana.     Gue marah, gue kesel, keliatan banget kalau Xion sama seklai nggak keberatan kalau Elin nyium pipi dia.     “Hei Xion.” Akhirnya gue masuk juga ke kamarnya dan keliatannya dia udah selesai ganti baju. Sekarang dia pake kaos oblong biasa.     “Hei! Kenapa nggak ngomong kalau mau kesini. Kan bisa aku jemput.”     Aku cuma senyum. Yakin kalau kamu bisa jemput? Perasaan tadi aja kamu malah pulang bareng Elin, “Oh ya Xion, Elin masih tinggal di sebelah?”     “Masih kok. Kenapa tiba-tiba nanyain Elin?”     “Ng...Nggak kenapa-napa, iseng aja.” Sebenernya gue pengen marah ke dia. Bukannya gue nggak tega tapi gue harus udah siap dengan yang kayak gini. Zian udah ngewanti-wanti ke gue kalau dunia gue ama Xion emang beda jauh kan? Dicium temen ceweknya mungkin itu biasa aja bagi dia. Iya kan?     “Kebetulan dia pulang lebih cepet. Tadi Elin ada masalah di hotel jadi dia diizinin pulang cepet buat nenangin pikiran. Kebetulan kerjaan aku juga udah selesai jadi aku pulang bareng Elin. Oh ya, aku belum ngasih tau kan kalau aku udah dapet kerjaan? Aku kerja di tempat yang sama kayak Elin.”     “Oh...”     Entah kenapa tapi kayaknya gue ngerasa kalau Elin sama Xion makin lama makin deket. Bukan cuma sekedar tetangga tapi juga temen sekantor, temen curhat, atau bahakan mungkin lebih dari itu semua. Nggak tau lah...    “Oh ya, kenapa kamu nggak bilang kalau sebenernya kita nggak punya hubungan darah sama sekali. Aku baru tau dari EJ. Itu bener?”    Entah kenapa wajah Xion keliatannya kecewa banget, “Iya, itu bener.”     Kalau emang itu bener kenapa dia keliatan kecewa dan nyesel? Padahal kan bagus, seenggaknya kita bebas punya hubungan kayak gini. Bapaknya kan cuma anak angkat di keluarga kita.     Gue udah di depan –zian-     Ya ampun, baru aja gue ketemu Xion, Zian udah ngejemput duluan. Tak lama kemudian terdengar klakson panjang khas Zian dari depan kosan Xion.     “Xion, Zian udah jemput, gue balik dulu yah."***     Rumah sepi banget. Papa sama mama udah berangkat kerja dari tadi. Gue nggak enak badan. Rasanya pusing banget sampai-sampai gue nggak masuk sekolah.     Tadi pagi Zian udah ngebunyiin klakson panjang khas dia tapi gue nggak nyamperin. Mungkin karena kesel nggak gue tanggepin akhirnya Zian masuk ke rumah gue dan ngeliat keadaan gue. Sekalian aja gue titip surat buat sekolah ngabarin kalau gue nggak bakal masuk.     “Xion...”     Saat kayak gini gue pengeeeen banget Xion perhatian sama gue. Perasaan akhir-akhir ini selalu gue yang perhatian sama dia. Gue tau kalau Xion sibuk banget sama kuliah and kerjaannya. Tapi...     Dengan tenaga seadanya gue coba telepon Xion.    “Halo.”    “Halo? Xion? Xion, kamu ke rumah donk pliiiiissss.....”    “Sorry banget lho tapi aku beneran sibuk banget.”     “Uh kenapa sih kamu sibuk terus? Lagian emang kamu sibuk ngapain sih? Sibuk pacaran sama Elin? Mentang-mentang sekarang sekantor sama dia. Please Xion, Pliiissss Aku mohon banget kamu ke rumah sekarang.”     Untuk pertama kalinya gue denger Xion dengan suara tinggi, “Kamu kenapa sih, Chik? Aku kan tadi usah bilang kalau aku sibuk. Kok kamu kayak anak kecil gitu sih?”     “Ta...Tapi...”     “Sekali lagi aku bilang kalau aku sibuk. Aku bener-bener nggak bisa, titik!”     Tuuut...tuuuttt... Xion udah nutup telepon duluan...     Tapi aku lagi sakit, Xion...***     Makin lama aku makin nggak ngertiin Xion. Sikapnya sekarang aneh banget. Mungkin karena dia di pusat kota Bandung sedangkan gue di pasteur yang jaraknya lumayan jauh kita jadi jarang ketemu.     “Zian, menurut lo gimana?”    “Ya nggak gimana-gimana. Lagian kayak nggak ada cowok lain aja. Sepupu sendiri lo pacarin.”    “Kan gue udah bilang kalo gue sama dia ternyata bukan sepupu asli. Bokapnya tu ternyata anak angkat kakek gue. Ah, lo gimana sih.”    Hari Minggu gini temen-temen lagi pada jalan sama cowoknya masing-masing. Mestinya gue juga jalan sama Xion. Tapi Xion udah bener-bener ngilang tanpa kabar. Eh malah Zian yang nangkring ke rumah gue.     “Zi, emang lo nggak kepikiran apa buat macarin cewek. Emangnya nggak ada cewek yang lo suka? Gue juga nggak pernah ngeliatin lo ngedeketin cewek.”     Bukannya ngejawab Zian malah kabur ke dapur rumah gue dan seenaknya ngambil 2 gelas  minuman dari kulkas gue. Yah, rumah gue udah kayak rumah dia sendiri sih. Abis gitu baru dia balik sambil ngasih segelas jus jeruk ke gue.     “Thanks.”     “Yoi. Sebenernya sekarang juga gue lagi ngedeketin cewek yang gue suka kok. Lo aja yang nggak tau.”     “Ih jahat! Lo kok nggak pernah cerita ke gue? Padahal selama ini...”     Belum sempet gue ngelanjutin kata-kata gue, Zian udah motong duluan, “Selama ini lo kan nggak pernah perhatian ke gue, makanya lo nggak tau.”     Gue diem mikirin kata-kata Zian. Gue baru nyadar kalo gue jaraaaang banget merhatiin Zian. Padahal selama ini Zian perhatian banget ke gue. Waktu gue sakit dia yang nyamperin gue, padahal Xion sama sekali nggak peduli. Kalo gue ada masalah pasti gue cerita ke Zian. Sedangkan gue? Emangnya gue udah ngelakuin apa buat Zian?    “Kalo emang lo pengen jalan sama Xion, kenapa lo nggak telpon dia aja. Siapa tau dia juga pengen jalan.”     Iya juga ya, kenapa nggak gue aja yang duluan ngajak dia jalan.    “Halo?”    “Halo Xion? Xion, ni Chika. Xion, jalan yuk! Aku lagi geje nih.”    “Maaf lagi ni Chik, hari ini temen aku nikah jadi aku mesti pergi ke pestanya.”    “Oh gitu, gue ikut ya!”     “Eh?”***     “Wah, pestanya keren banget. Xion, kamu kok diem aja sih dari tadi?”     “Ng...ya abis nggak ada yang mau aku omongin sih, Chik.”     Wajah Xion dari tadi cemas mulu, kayak lagi nungguin seseorang. Baru dateng dia cuma berdiri dan terus ngeliatin pintu depan. Palingan dia nungguin temennya entah siapa.      Uh Xion, makin hari dia makin dingin aja. Mana gue dari tadi dikacangin mulu. Xion sibuk sama temen-temennya. Wajar sih, ini kan pestanya orang-orang dewasa kayak Xion. Anak kecil kayak gue jelas nggak bakal diajak ngomong. Hh, kayaknya gue emang harus lebih banyak bersabar gara-gara gue cinta sama Xion.     “Xion!” Lagi-lagi suara cewek sok anggun yang nyamperin Xion. Ya, siapa lagi kalo bukan Elin. Ih, nyebelin banget sih. Ngapain juga dia ada disini?     “Elin, kamu lama banget sih? Aku udah nungguin dari tadi lho.” Oke, lengkaplah sudah penderitaan gue. Xion malah sibuk berurusan sama Nona Elin yang satu ini dan gue mungkin udah kayak kerikil bagi dia. Kerikil itu ada tapi nggak pernah dipeduliin. Dan itulah gue. Fakta lain yang gue dapet adalah Xion ternyata nungguin Elin. Oh, jadi yang dari tadi dia tungguin itu Elin! Pantesan pas Elin udah nyampe wajahnya langsung sumigrah senyam-senyum gitu.     “Kalo gitu kita nyalaminnya barengan. Aku belum ngasih selamat ke yang nikah soalnya. Aku kan nungguin kamu dulu.” Kata Xion ke Elin. Ternyata emang Xion itu baek ke semua cewek ya. Gue jadi inget waktu hari kedua Xion tinggal di rumah gue. Waktu dia sengaja nggak makan duluan karena nungguin gue. Hh, ternyata itu bukan karena gue istimewa tapi karena emang sifatnya udah kayak gitu. Gue aja yang kegeeran. Nyebelin!     “Selamet ya...” Kata mereka berdua ke pasangan penganten yang baru nikah itu sambil pake tradisi cipika-cipiki. Temen-temennya Xion udah pada nikah gitu berarti emang Xion itu udah tua. Hh, kalo ngeliat situasi kayak gini baru deh gue sangat sadar kalo jarak antara gue sama Xion jauuuuuuuuuuuuuuuuuuuhhhhhhhhhhhhhh banget.     “Makasih. Ditunggu lho undangan susulannya.” Kata sang pengantin cewek kearah Xion dan Elin. “Udah punya calon belon? Tapi kayaknya Xion udah punya calon ya?”     Si pengantin cewek ngelirik kearah gue waktu gue ngasih selamet ke dia secara langsung, “Yang ini past calonnya Xion kan?”     “Ehem!” Xion malah berdehem nggak jelas. “Dia bukan calon aku dia adek sepupu aku.”     “Eh maaf, salah ya. Ya udah kenapa lo nggak sama Elin aja? Kan sama-sama sendiri tuh, hha.”     Xion? Jadi selama ini? Oke, gue tau! Jadi selama ini gue cuma dianggep mainan sama Xion. Jelas aja, mestinya gue nyadar dari dulu. Anak kecil kayak gue nggak mungkin Xion bisa serius sama gue.     Setelah itu gue langsung pergi dan pulang sendirian. Gue benci! Benci! Benci sama Xion!***     “Udah donk Chik, cup...cup...cup...Lo mau es krim? Permen? Ato Balon? Biar gue beliin deh. Udahan donk nangisnya. Ntar nyokap lo malah nyangka gue yang bikin lo nangis.”      “Ih, gue nggak mau! Gue bukan anak kecil lagi tau!”    Kamar gue udah bener-bener nggak berbentuk. Tisu bertebaran dimana-mana. Buku-buku juga udah bertebaran karena gue ngelampiasin kemarahan gue ke barang-barang yang ada di kamar gue juga ke Zian.    “Jadi lo maunya apa?”    “Gue mau Xion!”     Gue masih nangis di balkon rumah gue yang ada di lantai 2. Dinginnya malam makin kerasa kalau disini. Bintang-bintang juga udah mulai bermunculan. Tapi kenapa sih di otak gue bintang-bintang itu kayak ngebentuk rasi bintang wajah Xion. Dunia emang kejam!    “Ya udah kalo lo maunya gitu.” Zian kemudian bangkit dan mengambil kunci mobilnya. “Ayo berangkat.”    “Hah? Berangkat kemana?”    “Ya ke kosan Xion lha. Tadi lo bilang lo cuma pengen Xion.”     “Tapi kan sekarang udah malem, Zi. Terus kosan Xion kan jauh.”     “Cerewet, ngapain lo yang mikir? Kan gue yang bakal nyetir. Udah cepet berangkat kalo nggak gue gendong lo!”    “Kyaaa!!!! Turunin gue Ziaaaannn!!!!”***    Akhirnya mobil Zian nyampe juga di depan kosan Xion setelah perjalanan yang memakan waktu cukup lama. Tapi gue masih belum turun. Gue masih belum siap.    “Zi, kalo gue turun, gue mau ngapain?”    “Ayam bego! Ya lo turun, temuin Xion, terus minta kejelasan dari dia. Gitu aja susah.”     Akhirnya dengan langkah gemeteran gue turun dari mobil terus naek tangga masih dengan kaki gemeteran. Urgh, ngapain sih Xion pake nyewa kamar di lantai 2? Kan gue jadi gemeteran naik tangganya. Kalo gue jatoh gimana coba!     “Aku serius Elin dan aku nggak pernah seseirus ini.” Itu suara Xion! Xion ada di kamar Elin. Pintu kamar Elin kebuka jadi guue bisa liat jelas apa yang terjadi disana. Xion berdiri di belakang Elin, sedang terpaku menatap Elin sementara Elin justru membelakangi Xion.    “Gimana aku tau kamu serius atau nggak kalau kamu sama sekali nggak ngebuktiin ucapan kamu. Udah beberapa kali kamu bilang kalau kamu cinta aku tapi kamu sama sekali belum bilang apa-apa soal ini ke Chika.” Deg! Gue diomongin? “Aku tahu kalo selama ini kamu cuma nganggep Chika sebagai adek. Tapi gimana dengan Chika? Xion, aku bisa liat dengan jelas kalau Chika nganggep kamu serius sama dia. Kalau emang kamu cinta sama aku, kamu harus kasih ketegasan ke Chika!”    “Ketegasan kayak gimana yang kamu minta?”     Kali ini Elin menatap langsung ke mata Xion, “Bilang ke Chika kalau sebenarnya kamu nggak pernah cinta sama dia.”     Tak terasa air mata gue langsung netes begitu ngedenger yang sebenarnya. Langsung gue keluar dari tempat persembunyian gue buat ngasih tau secara nggak langsung kalau gue ngedenger semuanya.    “Chika?” Xion kaget banget waktu liat gue. Tapi gue nggak peduli. Gue langsung turun tangga dan langsung masuk mobil Zian. Zian udah nunggu sambil tiduran.     “Zian, langsung cabut aja!”     “Aduh, iya bentar Chik. Kok lo masih nangis sih?”     “Udah, pokoknya cepet pergi, Zian!”     Mobil Zian langsung melaju seperti yang kuperintahkan. Waktu nengok ke belakang sama sekali nggak ada tanda-tanda kalau Xion ngejar gue. Dengan begini jelas semuanya. Jelas siapa yang Xion pilih dan pilihan itu ternyata bukan gue.***     Gue berusaha buat nggak menghubungi Xion lagi dan ngelanjutin hari-hari gue kayak biasa. Pagi-pagi dijemput Zian, sekolah, terus pulang bareng Zian, les, ngerjain PR, dan tidur. Hampir setiap hari berlangsung sama. Dan sekarang di sekolah.     “Ayam! Mau di sekolah sampe kapan lo? Gue udah mau balik nih.”     “Iya...bentar...” Gue ngambil tas dan baru mau mulai jalan. Tapi baru aja 1 langkah gue hampir jatoh saking lemesnya. Untung aja Zian langsung nangkep gue.     “Lemes banget lo, Yam. Kenapa sih akhir-akhir ini lo lemeeesss terus, kayak nggak ada tenaga sama sekali. Kayak nggak ada semangat hidup tau nggak!”     “Iya, sorry ya, Zi. Jadi balik nggak?”     “Ya jadi lha.”     Begitu nyampe depan gerbang langsung gue ketemu mobil plat ‘DK’ yang sangat gue kenal. Empu yang punya mobil langsung keluar begitu ngeliat gue. Ya, siapa lagi kalau bukan Xion.     “Chika!”     Gue yang males ketemu Xion langsung kabur tapi Xion langsung ngejar gue dan dia berhasil, “Chika, please Chika. Kita perlu ngomong sebentar aja.”     Dengan nada bicara sejutek mungkin gue nahan hati gue yang sakit banget supaya bisa ngomong sama Xion, “Ya udah ngomong aja! Gue kasih waktu 5 menit!”      “Kita ngobrol di mobil gue aja ya, Chik.”     Gue setuju dengan syarat dari Xion. Jadi gue ngikutin Xion ke mobil sementara Zian gue minta buat nungguin gue di mobilnya.      “Chika, tentang apa yang aku omongin malem itu sama Elin.”     Gue narik napas sebentar, “Ya, terusin!”     “Aku mau kamu tau kalau apa yang kita bicarain waktu itu emang serius. Aku.....” Xion terlihat ragu-ragu untuk melanjutkan pembicaraanya.     “Kamu cinta sama Elin kan? Aku denger dengan JELAS kok waktu itu.”     “Maaf. Kamu bisa ngerti kan kalau kamu ada di posisi aku. Aku emang nggak pernah bilang cinta ke kamu. Sayang yang aku ungkapin selama ini sebatas sayang kakak kepada adek. Sekali lagi aku minta maaf. Aku sama sekali nggak nolak kamu karena itu mungkin bisa ngerusak hubungan kita sebagai sepupu. Tapi aku juga nggak bisa nerima kamu karena aku nggak memiliki perasaan lebih daripada sebagai kakak pada adeknya. Jujur aku pusing banget waktu kamu nyatain hal itu ke aku, tapi....” Xion menarik nafas panjang. “Maafin aku.”     “Nggak perlu minta maaf. Nggak ada yang salah dalam cinta.”     “Makasih Chik, kamu lebih dewasa dari yang aku kira. Lagipula kita kan sepupuan nggak mungkin juga kalo hubungan kita tetep di terusin, iya kan?” Biarpun kamu bilang aku dewasa, tapi perasaan kamu ke aku nggak bisa berubah kan? “Kamu bakal tetep adi adek sepupu aku yang ngegemesin.”     Gue berusaha nahan air mata supaya gue nggak nangis waktu gue bilang ini, “Makasih Xion, semoga hubungan kamu sama Elin lancar-lancar aja.”     Tanpa ngeliat lagi wajah Xion, gue langsung turun dari mobil Xion dan langsung lari menghambur ke pelukan Zian yang ternyata nungguin gue di luar mobilnya.”     “Lo boleh kok nangis sepuasnya sekarang. Tapi gue minta besok lo udah jadi ayam yang biasanya ceria. Lo mulai bisa nyoba buat buka hati lo buat orang lain.”     “Hiks...hiks...Gue bukan ayam, Zian.”***     Malam Minggu yang ramai akhirnya datang lagi. Para kunyuk seperti biasa mampir ke Bandung buat ngerayain weekend mereka di Bandung. Mau jalan-jalan ke puncak, katanya.     “Oy, ajak Xion yuk. Biar gue bisa gantian nyupir sama dia. Masa’ tiap kita jalan gue mulu yang nyetir. Chik, telponnin Xion gih.”     Lagi-lagi gue kaget waktu denger nama Xion. Ternyata gue emang belum bisa ngelepas Xion sepenuhnya. Gue langsung masuk ke kamar gue dan ngeringkuk dibalik selimut, “Ng...lo aja yang telpon Xion ya. Gue nggak ikut kayaknya. Gue tiba-tiba meriang gitu. Nggak enak body.”      “Alah, alesan lo, Yam. Ya udah, mana HP lo, biar gue yang nelpon Xion.”     Dengan sangat terpaksa gue ngasih HP gue ke EJ. Sementara EJ nelpon Xion dan entah apa yang mereka bicarakan karena gue sama sekali nggak bisa denger, gue terus pura-pura batuk buat mantepin acting gue. Biar mereka percaya kalau gue sakit.     EJ menutup sambungan telpon dengan tatapan penuh kekecewaan, “Xion nggak bisa ikut. Dia mesti beres-beres soalnya besok dia mau ke Aussie. Nerusin kuliah disana. Mungkin kita nggak bakal ketemu Xion untuk waktu yang lama. Gimana kalau besok kita bantuin Xion sekalian nganterin dia ke bandara.”     Tanpa pikir panjang gue langsung keluar dari selimut gue dan langsung keluar rumah. Gue langsung lari menuju rumah Zian tanpa peduli pada para Kunyuk yang keheranan dengan tingkah gue.      “Zian...”     Zian ngambil sapu tangan buat ngelap air mata gue yang dari tadi ngalir terus nggak mau berenti, “Xion mau ke Aussie, Zi. Gue nggak mau dia jauh-jauh. Hue...hiks...hiks...”     Lagi-lagi Zian meluk gue kayak waktu dia meluk gue waktu gue lagi nangis di sekolah, “Mungkin emang lebih baik kayak gini, Chik. Gue tau ini bakal berat banget buat lo tapi ini baik buat lo bedua. Dengan jauhnya Xion, lo bisa normalin lagi hubungan dia sama lo. Supaya waktu dia kembali nanti kamu udah bener-bener bisa ngadepin dia sebagai kakak sepupu kamu.”     “Iya tapi....”      “Lo juga bisa bebas buat suka lagi sama orang lain. Sama orang lain yang bukan cinta terlarang.”      Gue terharu waktu denger kata-kata Zian. Selama ini Zian baek banget ke gue dan lagipula dia kan bukan cinta terlarang gue.      “Zian...”      “Mmm...”      “Lo janji ya nggak bakal pernah tinggalin gue.”      Pelukan Zian rasanya terasa makin kuat, “Janji!!”***(TAMAT)
CINTA YANG HILANG


Semuanya bermula dari kecelakaan lalu lintas yang Evan alami. Sudah 6 bulan semenjak kecelakaan itu dia koma dan sampai sekarang pun kondisinya tidak mengalami kemajuan sedikit pun. Semua orang bahkan dokter yang merawat Evan telah benar-benar menyerah dengan kondisinya tapi aku tahu aku tidak boleh menyerah sedikit pun, aku harus percaya pada Evan. Evan adalah orang yang sangat kuat jadi dia tidak akan mungkin menyerah begitu saja. Maka aku terus menunggunya dan bertahan di sampingnya berharap keajaiban akan segera terjadi.
Malam ini hujan turun begitu lebat dan seperti biasanya aku berada di rumah sakit untuk menemani Evan. Kugenggam tangannya dengan erat masih sambil berusaha berkomunikasi dengannya.
Mungkinkah aku berhalusinasi? Tapi aku memang benar-benar merasakan tangannya yang mulai bergerak. Evan sudah sadar, Evan sudah siuman dari komanya. Aku langsung berlari keluar untuk memanggil dokter dan dokter segera memeriksa kondisi Evan. Tiga puluh menit aku menunggu di luar berharap apa yang tadi aku lihat bukan hanya sekedar halusinasiku saja, akhirnya dokter keluar dengan wajah yang sumringah. Apakah ini tandanya Evan sudah sadar?
“Dokter bagaimana kondisi Evan?”
“Ini memang benar-benar sebuah keajaiban, Evan sudah siuman”
“Bolehkah aku melihatnya”
“Tentu saja, masuklah”
Aku berjalan dengan hati-hati ke dalam kamar inap Evan lagi. Aku tidak tahu kenapa jantungku tiba-tiba berdetak dengan sangat cepat tapi saat ini aku benar-benar bahagia. Akhirnya Evan siuman dari komanya.
“Evan, akhirnya kamu siuman” aku langsung menyapanya saat pandangan kami berdua bertemu tapi entah kenapa aku merasa kalau reaksi Evan benar-benar aneh, dia mengerutkan keningnya kepadaku entah apa maksudnya.
“Apa aku mengenalmu?”
“Evan, apa kamu sedang bercanda?” dia itu bahkan ketika baru siuman pun sudah mempermainkanku seperti biasanya.
Tapi Evan menggelengkan kepalanya dan kerutan di keningnya semakin dalam tanda bahwa dia benar-benar bingung dengan apa yang aku katakan.
Aku kembali memanggil dokter untuk memastikan kondisi Evan dan ternyata memang benar Evan telah kehilangan ingatannya karena benturan yang cukup keras di kepalanya saat kecelakaan itu.

♥♥♥

Hari ini saat aku datang ke rumah sakit suasana di kamar inap Evan benar-benar sangat ramai, semua anggota tim basket sedang berkumpul disana. Akhirnya setelah beberapa hari Evan siuman dia bisa kembali tertawa dengan begitu lepas seperti saat ini. Tapi ada sesuatu yang berbeda di matanya saat dia menatap Mia, mungkinkah Evan telah melupakan perasaannya padaku bersama dengan ingatannya yang menghilang? Perasaan yang dia bilang akan selalu dia jaga dengan segenap hidupnya, mungkinkah semuanya telah hilang?

♥♥♥

Tujuh hari setelah Evan siuman akhirnya dokter mengijinkan dia pulang ke rumah. Tapi ada sesuatu yang tidak aku mengerti, kenapa Mia ada di rumah sakit bersama dengan Evan? Terlihat jelas ada rasa tidak enak saat Mia melihat aku yang tiba-tiba saja muncul, mungkinkah apa yang aku khawatirkan benar-benar terjadi…
Aku berjalan pergi dari kamar inap Evan tanpa berkata apa pun pada Evan atau pun Mia menuju ke dalam toilet. Rasanya perasaanku saat ini benar-benar sangat tidak karuan, benarkah Evan telah melupakan aku? Benarkah cintanya bisa begitu saja menghilang karena ingatannya yang lenyap?
Pintu toilet di buka dan Mia ada disana dengan wajah bersalah.
“Maafkan aku” Mia tertunduk tidak berani menatap ke arahku.
“Untuk apa?” kupaksakan diriku untuk tersenyum ke arahnya meski ini rasanya sangat sulit.
“Evan, dia mengatakan padaku kalau dia mencintaiku”
Aku tahu cepat atau pun lambat ini akan terjadi, aku tahu perasaan Evan telah berubah terhadapku sejak aku melihat tatapan mata Evan pada Mia waktu itu, tapi tetap saja rasanya sangat sakit mendengar semua ini keluar dari mulut Mia.
“Kamu tidak perlu minta maaf padaku. Evan telah menguburku jauh dari ingatannya dan dari dalam hatinya, lalu apa lagi yang mampu aku lakukan? Aku bahkan tidak bisa menyalahkan siapa pun kalau akhirnya cinta Evan kepadaku telah menghilang. Mungkin semuanya adalah jalan yang telah Tuhan tuliskan untukku, Evan dan kamu untuk membuat kita merasakan kebahagiaan pada akhirnya. Aku tidak akan menyesali semua yang telah terjadi, semuanya pasti akan lebih baik nantinya”
“Caca...”
“Maka aku mohon jagalah dia dan jangan pernah sakiti dia”
“Caca, terimakasih”
Mia lalu keluar dari dalam toilet menghampiri Evan yang telah menunggu dia dengan wajah yang sumringah. Evan tersenyum ke arah Mia, entah apa yang sedang dia bicarakan dengan Mia tapi tampak jelas dia sangat bahagia.
Akhirnya tatapan mata itu dan senyum itu bukan lagi milikku, akhirnya aku telah benar-benar kehilangan dia.

Kini dia telah menghilang
Bersama dengan cintanya yang terkubur
Dalam memory terkunci
Tak ada yang dapat kulakukan
Kunci itu terlalu jauh untuk kugapai
Dengan kedua tanganku
Kunci itu telah ditelan ombak
Dan dilemparkan ke dalam lembah gelap tanpa ujung
Dia bagaikan orang asing bagiku
Cintanya telah menghilang, selamanya...

friends

friends
baca-baca

pencarian

Friends Star STIKES YASA

Pengikut

Mengenai Saya

Foto saya
Pangkalan bun vs banjarmasin, kalteng, Indonesia
jiwa yang tentram